Selasa, 13 April 2010

Pemerintahan Good Governance


BAB I
PENDAHULUAN



LATAR BELAKANG

Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka nation and state building. Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya, langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.

Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian, pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin mengemuka untuk diperjuangkan perwujudnya.

Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja. Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai dimaksud.

Good Governance dan Good Management menjadi tema yang marak dibicarakan, terlebih terkait dengan agenda reformasi birokrasi. Hal ini penting dalam mewujudkan akuntabilitas pemerintah sebagai pihak yang dipercaya mengelola sumber-sumber dana dan yang bersangkutan dengannya. Penatakelolaan keuangan yang baik, dapat dilihat dari aspek program, administrasi keuangan dan pelaporan keuangan. Apabila instansi pemerintah melaksanakan hal ini, akan membawa dampak pemerintahan yang dipercaya (trusted), dihargai (respected) dan didukung (supported) oleh masyarakat.

Dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.















BAB II
PEMBAHASAN


           
Good Government Gonernance (GGG) sampai detik ini masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud sampai dengan lima-enam tahun mendatang. Hal ini ditengarai dengan tidak adanya ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum yang secara nyata telah diputarbalikkan dengan mudah. Misalnya, kasus dugaan “penyuapan” yang dilakukan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah terhadap anggota Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) Khoiriansyah yang akhirnya bermuara kepada kasus dugaan tindak pidana korupsi, telah membuat masyarakat awam menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun satu fakta yang jelas bisa ditangkap oleh mata hati orang awam adalah adanya “ketidakberesan” didalam menjalankan tata aturan yang telah ditetapkan dan diatur melalui seperangkat peraturan yang telah diketahui dan disepakati sebelumnya. Ketidakberesan tersebut akan menjadi bencana nasional jika akhirnya terkait dengan masalah pengelolaan keuangan dalam jumlah yang relatif besar, walaupun bagi pihak yang terlibat dalam konspirasi jumlah tersebut masih dianggap kecil, karena sudah terlalu seringnya mereka “bermain” dengan jumlah yang jauh lebih besar.

            Di Daerah, usaha Good Government Gonernance juga masih berjalan ditempat. Banyak contoh yang menunjukkan betapa tranparansi dan akuntabilitas publik masih merupakan komoditi yang sangat mahal. Para penyelenggara pemerintahan di Daerah sampai saat ini masih lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan pelayanan kepada masyarakat. Politik uang telah merasuk ke segala sektor, mulai dari proses pemilihan Kepala Daerah, perubahan APBD sampai dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban APBD. Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Bupati Temanggung, Bupati Riau, DPRD Jawa Tengah dan sebagainya mendominasi pemberitaan mengenai ketidak seriusan didalam pengelolaan keuangan daerah.

Reinventing Government : Implikasi terhadap APBD

Dalam bukunya Reinventing Government, David Osborne dan Ted Gaebler (1992) mengatakan bahwa dewasa ini kita masih saja selalu bertanya, sistem anggaran manakah yang lebih baik: apakah anggaran tradisional yang line-item atau anggaran yang berdasar pada misi (mission-driven budgeting) atau bahkan anggaran berbasis kinerja (performance budgeting). Sistem line-item merupakan pola anggaran yang menekankan pada sisi input (gaji, belanja barang, perjalanan dinas, dan lain-lain) sedangkan anggaran kinerja lebih menekankan pada sisi output (apa yang hendak dicapai). Pada umumnya, dalam penyusunan anggaran pemerintah lebih memilih untuk menggunakan system anggaran yang line-item dengan pertimbangan lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh pelaksana.

Menurut Osborne dan Gaebler (1992), terdapat tiga alasan mengapa hal ini tejadi, Pertama, anggaran tradisional sudah lama dipakai dan diterapkan sehingga sudah sangat melekat di pemerintahan, sehingga para birokrat kurang berminat untuk mengganti system 4 yang sudah dianggap mapan tersebut. Kedua, keinginan dari para politikus untuk tetap mempertahankan fungsi pengontrolan atas beberapa pengeluaran penting yang akan lebih mudah dilakukan melalui cara-cara anggaran yang line-item. Ketiga, adanya krisis kepercayaan legislatif terhadap eksekutif, dimana para anggota legislatif selalu tidak percaya terhadap ulah para birokrat, meskipun tindakan itu untuk memperbaiki manajemen. Sebenarnya, masalah reformasi penganggaran (budget reform) di pemerintahan merupakan bagian dari reformasi pemerintahan secara keseluruhan. Reformasi penganggaran ini memfokuskan pada bagaimana pemerintahan harus mentransformasi organisasinya, yang semula sarat dengan peraturan perundangan, menjadi suatu organisasi yang berorientasi pada misi dan visi yang jelas, sesuai dengan tujuan dibentuknya organisasi tersebut.

Terdapat tiga hal pokok yang harus ditransformasi dalam unit organisasi sektor publik, yaitu:

©      mengubah pemerintahan yang penuh dengan peraturan perundangan menjadi organisasi yang berorientasi pada misi,
©      mengubah penganggaran yang line-item menjadi penganggaran yang berorientasi pada misi, dan
©      mengubah sistem kepegawaian yang berdasarkan pada peraturan perundangan menjadi sistem yang berorientasi pada misi.

“........... Most public organizations are driven not by their missions, but by their
rules and their budget. They have a rule for everything that could conceivably go wrong
and a line item (budget) for every subcategory of spending in every unit of every
department ..............” (Osborne & Gaebler, 1992 h. 110).

Khusus reformasi keuangan yang disebut pada butir 2, yaitu mengubah anggaran dari line item menjadi anggaran yang berbasis misi, merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena menyangkut banyak aspek yang harus dipertimbangkan dengan matang. Dalam makalahnya yang berjudul “APBD Berbasis Kinerja”, Prodjoharjono mengungkapkan bahwa tedapat 4 (empat) pertimbangan dalam mengubah anggaran tersebut. Pertama, pengetahuan mengenai anggaran yang berbasis kinerja selama ini hanya populer di kalangan akademisi saja. Pengetahuan tentang Planning,Programming, Budgeting System (PPBS) dan Zero Based Budgeting (ZBB) jarang diperkenalkan kepada pejabat keuangan di daerah. Kedua, anggaran yang line item yang berbasis input sudah menjadi tradisi di pemerintahan sejak lama. Teknik anggaran ini, disamping mudah dipahami, juga mudah diimplementasikan baik pada saat penyusunan anggaran maupun dalam pelaksanaan anggaran. Ketiga, mengubah anggaran line item menjadi anggaran kinerja juga menyangkut perubahan struktur organisasi sehingga cocok untuk anggaran kinerja. Struktur organisasi tidak lagi dibagi-bagi berdasarkan atas urusan yang ditangani, namun harus diubah menjadi berbasis peranan yang diemban dalam memberikan layanan jasa kepada masyarakat. Dan yang keempat, perubahan dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja tidak hanya menyangkut perubahan format anggaran, namun juga menyangkut perubahan pola pikir (mindset) yang sangat mendasar pada setiap pelaku di Daerah (Prodjoharjono, 2001).

Anggaran Kinerja : Sebuah Gambaran Teoritis
Anggaran kinerja mulai diimplementasikan di Amerika Serikat pada tahun 1960- an yaitu di Departemen Pertahanan. Namun, sebenarnya sistem anggaran ini sudah direkomendasikan oleh Hoover Commision di depan Kongres AS pada tahun 1949.

Menurut Hoover, sistem anggaran ini terbagi ke dalam tiga elemen pokok:

Mengklasifikasikan program dan aktivitas pemerintahan, pengukuran kinerja, dan penyusunan laporan kinerja (Glynn, 1993).

Pemerintah AS mengadopsi PPBS secara penuh bagi pemerintah federal di bawah pemerintahan Presiden Johnson. Anggaran kinerja ini diintroduksi karena adanya “kegagalan” yang melekat dalam sistem tradisional yang antara lain berorientasi pada input dan tidak dapat menggambarkan pencapaian tujuan suatu organisasi. Disamping itu, anggaran line item juga berorientasi pada uang yang tersedia dalam anggaran, sehingga sistem anggaran hangus juga melekat didalamnya (Henley et all, 1992). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan anggaran kinerja dibutuhkan adanya pejabat perencana dan keuangan yang handal karena sistem ini memerlukan analisis biaya dan manfaat, analisis biaya efektif, serta pengukuran kinerja yang tidak mudah dilaksanakan oleh tingkat manajemen tradisional.

Langkah pembenahan dalam mengimplementasikan PPBS terbagi atas 5 proses:

©      Memformulasikan tujuan umum organisasi beserta unit-unit dalam organisasi tersebut. Prioritas tujuan mana saja yang harus dicapai terlebih dahulu juga harus ditentukan,
©      Menetapkan dan memperbandingkan beberapa alternatif program yang dapat dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan dengan basis 3E’s (efektif, efisien dan ekonomis),
©      Menghitung total biaya yang digunakan untuk menjalankan program dan   membandingkannya dengan manfaat yang akan dicapai,
©      Memilih program yang benar-benar efisien dan efektif, dan mengintegrasikannya ke dalam program yang menyeluruh untuk kemudian dilaksanakan,
©      Me-review hasil dari pelaksanaan program berdasarkan kinerja. Namun sistem anggaran kinerja mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: lemahnya SDM di sektor pemerintahan, diperlukannya banyak formulir, dan sulitnya obyektivitas dari pemilihan alternatif maupun prioritas (Jones, R, 1996).

           
Penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008 bukan hanya tanggungjawab BPKP tetapi seluruh instansi pemerintah guna mewujudkan Good Governance untuk menuju Clean Government. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) PP 60 tahun 2008 jelas bahwa BPKP mempunyai tugas yang cukup berat.
Tentu bukan soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut.
 
Menindaklanjutinya BPKP dalam hal ini Pusdiklatwas BPKP melakukan upaya pembekalan kepada APIP di BPKP dalam penerapan sistem pengendalian intern pemerintah sesuai kalender diklat tahun 2009 yang diterbitkan Pusdiklatwas BPKP terlihat lebih memprioritas kepada kegiatan sosialisasi dan diklat SPIP yang akan dilaksanakan sebanyak lima kali dalam setahun.

Terkait dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial melakukan Sosialisasi Kebijakan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan di lingkungan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. Kegiatan yang dilakukan pada tanggal 17 s.d 19 Maret 2010, dihadiri oleh Dirjen Pemberdayaan Sosial, Drs. Rusli Wahid, para pengelola keuangan di lingkungan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, serta para eselon III dan IV di lingkungan Sekretariat Ditjen Pemberdayaan Sosial. Hadir sebagai narasumber antara lain Ibu Dra. Sapartinah Markus (praktisi), Kepala Biro Keuangan, Inspektorat Jenderal dan KPPN Jakarta II.
Laporan keuangan sebagai sarana mengkomunikasikan keadaan keuangan merupakan hal yang penting. Laporan keuangan menjadi tolak ukur dalam menilai kinerja pemerintah, khususnya terkait dengan apakah anggaran belanja yang disediakan memang benar-benar digunakan untuk mencapai tujuan yang diprogramkan.
Kualitas Laporan Keuangan tercermin dalam pemberian opini, yang merupakan pernyataan profesional auditor. Laporan keuangan yang baik akan mendapatkan opini Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Hal ini sesuai dengan kontrak Menteri Sosial untuk mewujudkan Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian pada tahun 2011.
Kegiatan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu:
  1. Pengelolaan anggaran merupakan rangkaian aktivitas manajemen yang sangat menentukan keberhasilan suatu program/ kegiatan, sehingga diperlukan suatu sistem prosedur yang baik pengelolaannya.
  2. Diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara perencanaan, keuangan dan inspektorat (pengawasan) dengan unit teknis dan Sekretariat Ditjen Pemberdayaan Sosial sebagai fungsi penunjang, sehingga tercipta tatakelola yang baik, dengan 5 azas, yaitu transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, keadilan dan independen.
  3. Program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan harus dikawal dengan pertanggungjawaban, pengelolaan dan pelaporan yang baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka tercapainya visi dan misi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial.
  4. Masih perlunya tindak lanjut dan pembahasan ulang secara bersama-sama oleh semua pihak, terkait dengan penggunaan satuan biaya paket pertemuan/ rapat dan perjalanan dinas.
  5. Perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan program harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, analisis kebutuhan, rambu-rambu kinerja dan capaian kinerja dengan kiat-kiat dan indikasi capaian yang tepat sehingga diperoleh hasil, manfaat dan dampak yang akan menghasilkan Laporan Keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.
  6. Setiap pihak harus proaktif menyikapi perkembangan dan perubahan peraturan dari Kementerian Keuangan, baik yang berupa kebijakan (policy) maupun yang bersifat teknis.
  7. Inspektorat Jenderal sebagai konsultan dan katalis merupakan mitra sekaligus analis yang memberikan saran/ masukan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan kegiatan serta berperan sebagai mediator dalam pemecahan masalah.
  8. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah pelaksanaan seleksi, penyerahan bantuan , perubahan/ revisi anggaran dan kegiatan, distribusi bantuan , peran dan tanggungjawab pelaksana program serta pencatatan dan pelaporan/ pendokumentasian.
  9. Dalam rangka tertib administrasi keuangan, pengelolaan keuangan harus mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pemberdayaan atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul “Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah” (Jurnal Forum Inovasi, Desember – Februari 2003), pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengakomodasi dan mewujudkan harapan dan tuntutan di atas. Upaya mewujudkan manajemen keuangan pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai good governance. Yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan membahas RUU Keuangan Negara yang sudah diundangkan DPR pada tanggal 9 Maret 2003 lalu (jadi setelah artikel ini ditulis) menjadi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus perhatian utama dalam UU ini, yaitu (1) akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga muncul kerangka kerja baru dengan nama “Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budget)” yang pada saat ini sedang diujicobakan pelaksasanaannya dan diharapkan dimulai pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap transaksi keuangan pemerintah; (3) pemberdayaan manajer profesional; dan (4) adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan (double accounting). Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka artikel ini menempatkan reformasi perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai agenda yang mendesak.


Urgensi


Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas sebagai fokusnya, dalam penilaian penulis ini, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi. Persoalan-persoalan dimaksud antara lain :

Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.

 Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.

Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktek KKN.

Keempat dan terakhir adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik. Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scale menjadi kerangka kerja utamanya.

Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, artikel ini sampai pada beberapa rekomendasi strategis yang pada intinya ingin mengembalikan manajemen keuangan pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan ekonomi yang sehat.

Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk memisahkan secara tegas antara kewenangan administratif dan kewenangan kebendaharaan. Dalam penilaian penulis ini kewenangan administratif seyogyanya berada dan diatur oleh masing-masing departemen/lembaga pemerintah, sementara kewenangan kebendaharaan berada di tangan Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan (kontrak) atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan. Sedangkan kewenangan kebendaharaan meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk membayarkan tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan bertindak sebagai kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund manager.

Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya kontroversi yang luas pasca diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2003. Bagi mereka yang pro dengan UU tersebut, Menteri Keuangan dan Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi kewenangan yang lebih luas, tidak saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga melakukan verifikasi atas penerimaan dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang perencanaan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus – atau tepatnya mengurangi – peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan BUMN lainnya (Kontan, 24 Maret 2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003). Argumentasi yang demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang mengelola anggaran seharusnya dilibatkan secara aktif untuk turut menentukan perencanaan pembangunan. Dengan demikian, ada sinergi dan rasionalitas yang tinggi antara rencana kegiatan yang diusulkan dengan kapasitas anggaran yang tersedia.

Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang diberlakukannya UU ini. Bagi mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran dan perencanaan yang begitu besar kepada Departemen Keuangan sama halnya dengan memberi “cek kosong” kepada lembaga tersebut. Argumentasi ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan mandat absolut kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governance), terutama transparansi dan akuntabilitas. Adanya wewenang perencanaan dan penganggaran pada satu lembaga akan menyebabkan tidak bekerjanya mekanisme check and balance, dan kedua, UU tersebut secara langsung telah mempreteli hak prerogatif presiden  dalam melakukan reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Negara; dan ketiga, Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu pusat masalah dalam pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk mendelegasikan wewenang yang besar kepada sebuah lembaga yang memang bermasalah (Forum Indonesia Raya, 2003).

Terlepas dari pro dan kontra di atas, UU tersebut sebenarnya ingin mengintroduksi sebuah kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good governance, terutama efektivitas dan efisiensi walaupun kurang memberikan garansi bagi terwujudnya akuntabilitas dan transparansi karena absennya mekanisme check and balance. UU ini berusaha mendorong terwujudnya suatu kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari korupsi, penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan untuk membatasi defisit anggaran sebesar maksimum 60% dari PDB dan dalam penyusunan APBD, defisit anggaran tidak boleh melebihi 3% dan utang tidak boleh melebihi 60% dari PDRB. UU tersebut sekaligus mengganti pedoman pelaksanaan keuangan negara yang masih merupakan warisan Hindia Belanda, yaitu ICW Stbl 1925 Nomor 448.

Semangat baru yang dikedepankan oleh UU ini adalah adanya pengawasan yang semakin meningkat dimana diamanatkan bahwa laporan kepada badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian juga, para pejabat maupun publik yang terbukti merugikan keuangan negara diwajibkan untuk mengganti kerugian dimaksud (Pasal 35 Ayat 1). Demikian halnya dengan kemungkinan untuk menuntut bendahara negara secara pribadi yang terbukti melakukan kelalaian, penyelewengan, atau korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan negara (Sinar Harapan, 6 Mei 2003).

Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui UU di atas, ada juga langkah maju – walaupun masih pada tataran wacana – yang sedang diupayakan dan menjadi kesepakatan semua pihak, yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan fungsi pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Selama ini, fungsi tersebut dijalankan oleh BPKP sebagai state auditor. Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi atas semua pos penerimaan dan pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun anggaran. Banyak temuan yang berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak sedikit juga yang luput dari pengawasan. Pembenahan internal dalam tubuh BPKP mutlak dilakukan karena lembaga yang dianggapa sebagai benteng terakhir dalam manajemen keuangan negara ini juga tidak lepas dari masalah. Muncul penilaian bahwa BPKP adalah bagian dari masalah (a part of the problem). Lembaga itu tidak jarang terlibat dalam konspirasi dengan pihak kedua yang sangat merugikan keuangan negara.

Jika BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah, maka salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan independent external auditor. Ini merupakan lembaga pemeriksa independen yang berasal dari luar pemerintah semisal konsultan-konsultan akuntansi publik yang kini banyak berkembang. Banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana kiprah dan kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut dalam menyelematkan keuangan negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson Counsultant, sebuah perusahaan konsultan internasional, yang berhasil membongkar kroni Soeharto. Lembaga-lembaga semacam itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja keuangan pemerintah.

Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat. Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah perlu juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi keuangan pemerintah daerah semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan di kalangan pemerintah daerah  di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan pelayanan publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain. Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses tender yang tidak terbuka, dan parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di daerah. Muncul pula keluhan bahwa implementasi otonomi daerah hanya memindahkan borok permasalah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah justru ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi kehidupan dan kesejahteraan yang semakin baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan RI dalam skema program Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) adalah dalam kerangka penegakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara itu.
Bagaimanapun idealnya sebuah aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh kapasitas dan moral pejabat yang baik maka kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat. Langkah-langkah capacity building untuk peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan negara maupun pejabat yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan keuangan pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas aparat tersebut, sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah. Hanya jika terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan manajerial dan operasional yang tinggi baru langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah yang telah dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan


Dari beberapa poin yang disampaikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah sangat diperlukan mengingat banyaknya persoalan yang berkembang pada sektor itu seperti rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan anggaran, irasionalitas dalam pengelolaan, serta banyaknya penyimpangan atau penyalahgunaan.

Kedua, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah harus dituntun oleh dan diarahkan menuju terwujudnya nilai-nilai good governance yang dilakukan secara serentak baik di pusat maupun daerah.

Ketiga, mengingat masalah kebendaharaan dan auditing dilihat sebagai dua titik terlemah dalam manajemen keuangan pemerintah, maka langkah-langkah reformasi harus diarahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk masalah kebendaharaan, langkah reformasi bisa dilakukan dengan menegakkan sistem check and balance di mana ada pembagian peran yang jelas antara Departemen Keuangan dan departemen teknis lainnya. Pembagian kerja dimaksud tetap harus diarahkan pada perwujudan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran di samping adanya jaminan transparansi dan akuntabilitas.

Keempat, di luar berbagai paket kebijakan yang sudah bagus, diperlukan satu langkah lagi yang sangat menentukan yaitu peningkatan kapasitas aparat, baik yang berhubungan langsung dengan pengelolaan anggaran maupun tidak langsung. Kunci keberhasilan reformasi manajemen keuangan daerah tidak hanya terletak pada kebijakan yang didesain dengan baik tetapi juga pada SDM yang akan mengimplementasikan·





























DAFTAR PUSTAKA






Tidak ada komentar:

Posting Komentar